Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari
akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk
adil diantara para istri, sebagaimana pada ayat yang artinya:
“Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan
memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya. Adil disini lawan dari curang,
yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya dan mengambil
dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat diartikan
persamaan. Berdasarkan hal ini maka adil antar para istri adalah menyamakan hak
yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk disamakan
di dalamnya.
Adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai
dengan haknya.
Apa saja hak seorang istri di dalam poligami?
Diantara hak setiap istri dalam poligami adalah sebagai berikut:
A. Memiliki rumah sendiri
Setiap istri memiliki hak untuk
mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al
Ahzab ayat 33, yang artinya, “Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di
rumah-rumah kalian.” Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan rumah Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa
rumah beliau tidak hanya satu.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Aisyah Radhiyallahu 'Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu
'Alaihi wa Sallam sakit menjelang wafatnya, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bertanya, “Dimana aku besok? Di rumah siapa?’ Beliau Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu 'Anha, oleh karena itu
istri-istri beliau mengizinkan beliau untuk dirawat di mana saja beliau
menginginkannya, maka beliau dirawat di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisi
Aisyah. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam meninggal di hari giliran Aisyah.
Allah mencabut ruh beliau dalam keadaan kepada beliau bersandar di dada Aisyah
Radhiyallahu 'Anha.
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al
Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam
satu rumah tanpa ridha dari keduanya. Hal ini dikarenakan dapat menjadikan
penyebab kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya. Masing-masing istri
dimungkinkan untuk mendengar desahan suami yang sedang menggauli istrinya, atau
bahkan melihatnya. Namun jika para istri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam
satu rumah, maka tidaklah mereka. Bahkan jika keduanya ridha jika suami mereka
tidur diantara kedua istrinya dalam satu selimut tidak mengapa. Namun seorang
suami tidaklah boleh menggauli istri yang satu di hadapan istri yang lainnya
meskipun ada keridhaan diantara keduanya.
Tidak boleh mengumpulkan para
istri dalam satu rumah kecuali dengan ridha mereka juga merupakan pendapat dari
Imam Qurthubi di dalam tafsirnya dan Imam Nawawi dalam Al Majmu Syarh
Muhadzdzab.
B. Menyamakan para istri dalam masalah giliran
Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim
meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memiliki 9 istri. Kebiasaan beliau Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bila menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi semua
istrinya dan baru behenti (berakhir) di rumah istri yang mendapat giliran saat
itu.
Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak salah
seorang istrinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut
serta dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu
'Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak safar,
beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan beliau Shallallahu
'Alaihi wa Sallam sertakan dalam safarnya. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
biasa menggilir setiap istrinya pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu
Zam’ah karena jatahnya telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha.
Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk
masuk ke rumah semua istrinya pada hari giliran salah seorang dari mereka, namun
suami tidak boleh menggauli istri yang bukan waktu gilirannya.
Seorang
istri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu 'Anha
menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ingin bermesraan
dengan istrinya namun saat itu istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi bagian sekitar kemaluannya.
Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah, ulama besar dari Saudi
Arabia, pernah ditanya apakah seorang istri yang haid atau nifas berhak mendapat
pembagian giliran atau tidak. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa pendapat yang
benar adalah bagi istri yang haid berhak mendapat giliran dan bagi istri yang
sedang nifas tidak berhak mendapat giliran. Karena itulah yang berlaku dalam
adat kebiasaan dan kebanyakan wanita di saat nifas sangat senang bila tidak
mendapat giliran dari suaminya.
C. Tidak boleh keluar dari rumah
istri yang mendapat giliran menuju rumah yang lain
Seorang suami tidak
boleh keluar untuk menuju rumah istri yang lain yang bukan gilirannya pada malam
hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan dari hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah Radhiyallahu 'Anha, tidak lama
setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi
sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu
'Anha kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah istri yang lain. Ketika Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan Aisyah Radhiyallahu 'Anha
dalam keadaan terengah-engah, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya
kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya
akan berbuat tidak adil kepadamu?”
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
menyatakan tidak dibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali
darurat, misalnya si istri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang
bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak istri yang gilirannya
diambil malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.
Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah pernah ditanya tentang
hukum menginap di rumah salah satu dari istrinya yang tidak pada waktu
gilirannya.
Beliau rahimahullah menjawab bahwa dalam hal tersebut
dikembalikan kepada ‘urf, yaitu kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah
setempat. Jika mendatangi salah satu istri tidak pada waktu gilirannya, baik
waktu siang atau malam tidak dianggap suatu kezaliman dan ketidakadilan, maka
hal tersebut tidak apa-apa. Dalam hal tersebut, urf sebagai penentu karena
masalah tersebut tidak ada dalilnya.
D. Batasan Malam Pertama
Setelah Pernikahan
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu
'Anhu bahwa termasuk sunnah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap
selama tujuh hari, jika menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari.
Setelah itu barulah ia menggilir istri-istri yang lain.
Dalam hadits
riwayat Muslim disebutkan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu 'Anha mengkhabarkan
bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menikahinya, beliau menginap
bersamanya selama tiga hari dan beliau bersabda kepada Ummu Salamah, “Hal ini
aku lakukan bukan sebagai penghinaan kepada keluargamu. Bila memang engkau mau,
aku akan menginap bersamamu selama tujuh hari, namun aku pun akan menggilir
istri-istriku yang lain selama tujuh hari.”
E. Wajib menyamakan
nafkah
Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri,
hal ini berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila
istri-istri tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka
maka tidak apa-apa.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam
nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi
seorang suami.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu
'Anhu mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk beliau Shallallahu
'Alaihi wa Sallam. Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada
istri-istri beliau segenggam-segenggam.
Bahkan ada keterangan yang
dibawakan oleh Jarir bahwa ada seseorang yang berpoligami menyamakan nafkah
untuk istri-istrinya sampai-sampai makanan atau gandum yang tidak bisa ditakar /
ditimbang karena terlalu sedikit, beliau tetap membaginya tangan pertangan.
F. Undian ketika safar
Bila seorang suami hendak melakukan safar
dan tidak membawa semua istrinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan siapa
yang akan menyertainya dalam safar tersebut.
Imam Bukhari rahimahullah
meriwayatkan bahwa kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila
hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan diajak
dalam safar tersebut.
Imam Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seoarang yang
safar dan membawa semua istrinya atau menginggalkan semua istrinya, maka tidak
memerlukan undian.
Jika suami membawa lebih dari satu istrinya, maka ia
harus menyamakan giliran sebagaimana ia menyamakan diantara mereka ketika tidak
dalam keadaan safar.
G. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ di
antara para istri
Seorang suami tidak dibebankan kewajiban untuk
menyamakan cinta dan jima’ di antara para istrinya. Yang wajib bagi dia
memberikan giliran kepada istri-istrinya secara adil.
Ayat “Dan kamu
sekali-kali tiadak dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun
kamu sangat ingin demikian” ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa
manusia tidak akan sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh
segi. Sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja
ada perbedaan dalam rasa cinta, syahwat, dan jima’.
Ayat ini turun pada
Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat
mencintainya melebihi istri-istri yang lain. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam berkata, “Ya Allah inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah
engkaucela aku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki, yaitu hati.”
Muhammad bin Sirrin pernah menanyakan ayat tersebut kepada Ubaidah, dan
dijawab bahwa maksud surat An Nisaa’ ayat 29 tersebut dalam masalah cinta dan
bersetubuh. Abu Bakar bin Arabiy menyatakan bahwa adil dalam masalah cinta
diluar kesanggupan seseorang. Cinta merupakan anugerah dari Allah dan berada
dalam tangan-Nya, begitu juga dengan bersetubuh, terkadang bergairah dengan
istri yang satu namun terkadang tidak. Hal ini diperbolehkan asal bukan
disengaja, sebab berada diluar kemampuan seseorang.
Ibnul Qoyyim
rahimahullah menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan cinta
diantara istri-istrinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat
dikuasai. Aisyah Radhiyallahu 'Anha merupakan istri yang paling dicintai
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dari sini dapat diambil pemahaman
bahwa suami tidak wajib menyamakan para istri dalam masalah jima’ karena jima’
terjadi karena adanya cinta dan kecondongan. Dan perkara cinta berada di tangan
Allah Subhanahu wa Ta'ala, Zat yang membolak-balikkan hati. Jika seorang suami
meninggalkan jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami
tersebut dimaafkan. Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bila dimungkinkan
untuk menyamakan dalam masalah jima, maka hal tersebut lebih baik, utama, dan
lebih mendekati sikap adil.
Penulis Fiqh Sunnah menyarankan; meskipun
demikian, hendaknya seoarang suami memenuhi kebutuhan jima istrinya sesuai kadar
kemampuannya.
Imam al Jashshaash rahimahullah dalam Ahkam Al Qur’an
menyatakan bahwa, “Dijadikan sebagian hak istri adalah menyembunyikan perasaan
lebih mencintai salah satu istri terhadap istri yang lain.”
Saran
Seorang suami yang hendak melakukan poligami hendaknya melihat kemampuan
pada dirinya sendiri, jangan sampai pahala yang dinginkan ketika melakukan
poligami malah berbalik dengan dosa dan kerugian. Dalam sebuah hadits disebutkan
(yang artinya) “Barangsiapa yang mempunyai dua istri, lalu ia lebih condong
kepada salah satunya dibandingkan dengan yang lain, maka pada hari Kiamat akan
datang dalam keadaan salah satu pundaknya lumpuh miring sebelah.” (HR. Lima)
Allahu A’lam; Semoga bermanfaat
--------------------------------------------------------------------------------
Referensi: ü Al-Sheikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq,
2003, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor ü Al-Wazan,
Amin bin Yahya, 2004, “Fatwa-Fatwa tentang Wanita Jilid 2”, Darul Haq, Jakarta ü
As Sa’dani , As Sayyid bin Abdul Aziz, 2004, “Istriku Menikahkanku”, Darul
Falah, Jakarta ü As Salafiyah , Ummu Salamah, 1425 H, Persembahan Untukmu Duhai
Muslimah, , Pustaka Haura, Jogjakarta ü Sabiq, Sayyid, tt, “Fikih Sunnah 6”,
cet. Ke-15, PT Al Ma’arif, Bandung ü Tim Konsultan Majalah Nikah, 2004,
“Nyerobot Bisa Bikin Repot, “ , Majalah Nikah Vol.3, No.9, Desember 2004,
Sukoharjo