Headlines News :

Latest Post

Showing posts with label Shalat. Show all posts
Showing posts with label Shalat. Show all posts

Dalil Dosa Besar Meninggalkan Sholat


Meninggalkan shalat adalah dosa besar. Pelakunya akan diancam Allah dengan siksaan yang keras di hari kiamat nanti. Penghuni neraka jahim, jika ditanya mengenai sebab masuk neraka, mereka menjawab dengan kata-kata yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an berikut ini : 

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka)?”. Mereka menjawab : “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin.” (QS. 74 : 42 – 44). 

Dalam Al-Qur’an ada ayat yang menerangkan pentingnya arti shalat dan kedudukan yang tinggi dalam agama Islam : 

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui”. (QS 9 : 11). 

Berdasarkan pengertian ayat ini, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dan tidak menunaikan zakat hukumnya kafir. Dan persaudaraan dalam agama takkan bisa tercapai kecuali apabila membersihkan diri dari kekufuran dengan cara menjalankan shalat dan menunaikan zakat. 

Rasulullah bersabda untuk mengukuhkan pentingnya arti shalat :

بين الرجل وبين الكفر ترك الصلاة (رواه مسلم وابو داود والترمذى

“Antara seseorang dengan kekufuran terletak pada meninggalkan shalat (siapa yang meninggalkan shalat akan menjadi kafir) (Hadits riwayat An Nasai)”. 

Rasulullah juga bersabda mengenai pentingnya arti shalat dalam hadits berikut ini :

ان العهد الذى بيننا وبينهم : الصلاة فمن تركها فقد كفر (رواه النسائي

“Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (yang membedakan antara kaum muslimin dengan kaum kafir) ialah shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat ia menjadi seorang kafir” (Hadits riwayat An Nasai). 

Salah satu hadits yang menuturkan dosa bagi individu yang meninggalkan shalat Jum’at ialah sabda nabi SAW berikut :

لينتهين أقوام عن ودنهم – اى تركهم – الجمعة أو ليختمن الله على قلوبهم ثم ليكونن من الغافلين (رواه مسلم

“Hendaklah berhentilah kaum-kaum yang bisa meninggalkan shalat Jum’at, atau kalau tidak hati mereka akan dibekukan oleh Allah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lalai (Hadits riwayat Muslim)”. 

Rasulullah pernah bersabda pula :

من ترك ثلاث جمع تهاونا طبع على قلبه (رواه احمد وأصحاب السنة الاربعة

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali, maka Allah akan mengunci hatinya (Hadits riwayat Ahmad dan Al-Arba’ah)”.

Dosa Besar Bagi Meninggalkan Sholat






Dosa Besar Bagi Yang Meninggalkan Sholat Berpalingnya seseorang dari masalah ibadah terhadap Tuhannya adalah termasuk dosa bear. Allah akan mengancam pelakunya dengan siksaan yang keras, karena sebelum itu Allah telah melarang kita melakukan hal itu. 

Allah telah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. 40 : 60). 


Manusia dituntut untuk menyembah Tuhan sejak ia berada di bumi ini, sebagai tanda rasa syukur atas nikmat-nikmat yang Allah berikan terhadap mereka. Selain itu, dengan ibadah yang dilakukan manusia berarti meminta tolong kepada-Nya dan memohon petunjuk dari-Nya. Manusia dijadikan oleh Allah dalam keadaan lemah, karenanya, ia sangat membutuhkan pertolongan Allah agar bisa hidup damai. Dengan taat melakukan ibadah, manusia akan tercegah dari perbuatan maksiat yang akan mengakibatkan murkanya Allah. 


Al-Qur’an menyerukan kepada seluruh umat manusia agar beribadah kepada Allah, dan mengingatkan mereka akan segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelumnya bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui”. (QS. 2 : 21 – 22). 


Kewajiban yang prima bagi para Nabi ialah mengingatkan umatnya agar beribadah kepada Allah. Hal ini telah disebutkan oleh Al-Qur’an dalam ayat berikut ini : 


“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. 21 : 25). 


Allah memberi wasiat kepada nabi Muhamamd agar menyembah kepada-Nya sampai akhir hayatnya. Untuk itu Allah berfirman : “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini”. (QS. 15 : 99). 


Yang dimaksud dengan yakin pada ayat tadi ialah ajal, karena ajal adalah suatu hal yang sudah yakin dan pasti.


ويقول النبي صلى الله عليه وسلم : لمعاذبي جبل : اتدرى ما حق الله على العباد؟ قال, الله ورسوله أعلم, قال النبي : أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا, اتدرى ما حقهم عليه؟ قال: الله ورسوله أعلم, قال النبي : ان لا يعذبهم (رواه البخارى


Rasulullah bersabda pada sahabat Mu’adz ibnu Jabal: “Tahukah engkau, apa hak manusia terhadap Yang menciptakannya?”. Mu’adz menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasul berkata: “Mereka harus menyembah-Nya dan janganlah sekali-kali menyekutukan-Nya”. Kemudian Rasulullah bertanya lagi kepadanya: “Tahukah apa hak Allah pada mereka?”. Muadz menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasulullah SAW bersabda : “Tidak menyiksa mereka (Hadits riwayat Bukhari)”.

Jumlah Jamaah Sholat Jum'at




para ulama memiliki beberapa pendapat yang berbeda mengenai jumlah minimal jama’ah untuk bisa dilaksanakannya sholat jum’at. As-Sayyid Sabi dalam Fiqhus Sunah menyebutkan paling tidak ada 15 pendapat yang berbeda dalam menentukan batas minimal jumlah jamaah dalam shalat Jumat.


Jumlah minimal untuk syahnya shalat Jumat berbeda-beda dalam pandangan ulama. Ringkasannya adalah sebagai berikut :

A. Menurut Abu Hanifah minimal 3 orang selain imam.

Dalilnya bahwa yang disebut jamak (jamaah) itu adalah tiga ke atas. Pendapat ini menyatakan bahwa jika di suatu kampung ada 3 orang mukallaf dan muqim di tempat tersebut maka mereka diharuskan untuk melaksanakan sholat Jum'at bukan sholat Dzuhur. (As-Sholat/Prof. Dr Abdulloh bin Muhammad At-Thoyyar hal 218-219)

Syeikh Ibnu Taimiyyah berpendapat: "Sholat Jum'at boleh dilakukan oleh tiga orang; satu orang berkhutbah dan dua orang mendengarkan khutbah tersebut. Dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad dan merupakan pendapat sebagian ulama" (Al-Ikhtiyaarot Al-Fiqhiyyah Min Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah/ Al-Ba'ly hal 145-146)

B. Menurut Imam Malik harus ada minimal 12 orang untuk syahnya shalat Jumat.

Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu baru syah bila dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah.

Jumlah ini didapat dari peristiwa yang disebutkan dalam surat Al-Jumu'ah yaitu peristiwa bubarnya sebagian peserta shalat jumat karena datangnya rombongan kafilah dagang yang baru pulang berniaga. Serta merta mereka meninggalkan Rasulullah SAW yang saat itu sedang berkhutbah sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja. Jamaah yang bubar menyambutnya dan hanya tersisa 12 orang saja. Peristiwa itu menjadi asbabunnuzul surat Al-Jumuah.

Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri. Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki. (QS. Al-Jumu'ah : 11)

Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih tetap berada dalam shaf shalat Jum'at itu itu dianggap sebagai syarat minimal jumlah peserta shalat Jumat. Dan menurut mereka, Rasulullah SAW saat itu tetap meneruskan shalat jumat dan tidak menggantinya menjadi shalat zhuhur.

C. Menurut Imam Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal

Minimal harus ada 40 orang penduduk setempat untuk melakukan shalat jumat. Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu tidak syah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.

Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan hadits Rasulullah SAW :

Dari Ibnu Mas'ud ra bahwa Rasulullah SAW shalat Jum'at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang. (HR. Al-Baihaqi).

Inil adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jumat di masa Rasulullah SAW. Menurut kalangan Asy-Syafi'iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang. Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya Rasulullah SAW dahulu pernah shalat jumat hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah SAW dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat jumat.

Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi'iyah meyakini bahwa satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah SAW ketika shalat jumat adalah yang menyebutkan bahwa jumlah mereka 40 orang.

Bahkan mereka menambahakan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa keberadaan ke-40 orang peserta shalat jumat ini harus sejak awal hingga akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jumat yang keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah jumat itu. Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun shalat jumat dalam pandangan mereka.

Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan karena tidak tercukupinya syarat syah shalat jumat.

Selain itu ada syarat lainnya seperti :

1. Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat jumat, sehingga keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan minimal peserta shalat jumat.

2. Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi jumlah minimal.

3. Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jumat.

4. Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh, sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jumat tidak berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.

Hukum Mengirimkan Bacaan Al Fatihah Untuk Mayit





Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ditanya :

هل يجوز قراءة الفاتحة على الموتى وهل تصل إليهم؟.

Apakah boleh membacakan al fatihah untuk mayit dan apakah pahalanya sampai kepadanya ?

Syaikh rahimahullah menjawab :

 جواب السؤال قراءة الفاتحة على الموتى لا أعلم فيها نصاً من السنة وعلى هذا فلا تُقرأ لأن الأصل في العبادات الحظر والمنع حتى يقوم دليل على ثبوتها وأنها من شرع الله ــ عز وجل ــ

Tentang dasar disyariatkannya membacakan al fatihah untuk mayit maka saya tidak mengetahui dalil dari sunnah. Oleh karena itu janganlah membacakan al fatihah untuk mayit, karena hukum asal dari ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang menetapkannya bahwa ibadah tersebut disyariatkan oleh Allah azza wa jalla.

ودليل ذلك أن الله أنكر على من شرعوا في دين الله ما لم يأذن به الله، فقال ــ تعالى ــ: (أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله). الشورى:21)). وثبت عن النبي، صلى الله عليه وسلم، أنه قال: ((من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد)).وإذا كان مردوداً كان باطلاً وعبثاً يُنَزه الله عز وجل أن يُتقرب به إليه.

Dalil yang menyatakan bahwa hukum asal ibadah itu terlarang adalah bahwa Allah mengingkari orang yang membuat syariat dalam agama Allah dengan syariat yang tidak Allah izinkan. Allah ta’ala berfirman :

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” [Asy syuara : 21]

Demikian pula terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka amalannya tertolak.”

Jika amalan tersebut tertolak maka amalan tersebut batal dan sia-sia. Allah disucikan dari amalan taqarrub yang demikian.

 وأما استئجار قارئ يقرأ القرآن ليكون ثوابه للميت فإنه حرام ولا يصح أخذ الأجرة على قراءة القرآن ومن أخذ أجرة على قراءة القرآن فهو آثم ولا ثواب له

Adapun tentang menyewa seseorang untuk membaca Al Qur’an supaya pahala bacaan tersebut sampai kepada mayit, hukumnya adalah haram. Tidak sah mengambil balasan/upah dari bacaan Al Qur’an tersebut dan barangsiapa yang mengambil upah karena bacaan Al Qur’an maka dia telah berdosa dan tidak ada pahala baginya.

لأن قراءة القرآن عبادة ولا يجوز أن تكون العبادة وسيلة إلى شيئ من الدنيا قال الله ـ تعالى ـ ( من كان يريد الحياة الدنيا وزينتها نوف إليهم أعمالهم فيها وهم فيها لا يبخسون). ] هود: 15

Karena membaca Al Qur’an merupakan ibadah dan yang namanya ibadah tidak boleh dijadikan sarana untuk memperoleh bagian dari dunia. Allah ta’ala berfirman :

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”  [Hud : 15]

Sumber : http://islamancient.com/play.php?catsmktba=5116

About these ads
Share this:

Hukum Meninggalkan Shalat Jum’at





Pertanyaan :

ما هي عقوبة عدم حضور صلاة الجمعة ؟ وما هي الأحاديث الدالة على ذلك؟.

Apakah hukuman tidak menghadiri shalat jum’at ? Dan hadits-hadits yang menunjukkan hal itu ?


Jawaban :

الحمد لله , ترك الجمعة ممن تجب عليه من غير عذر كبيرة من كبائر الذنوب . ومن ترك ثلاث جمعٍ تهاوناً طُبع على قلبه وكان من الغافلين،

Segala pujian untuk Allah, meninggalkan shalat jum’at tanpa adanya udzur bagi orang yang wajib menunaikannya termasuk salah satu dari dosa besar. Dan barangsiapa yang meninggalkan tiga kali shalat jum’at karena malas maka akan hatinya akan ditutup dan dia termasuk orang yang lalai.

كما روى مسلم في صحيحه عن أبي هريرة ، وابن عمر رضي الله عنهما ، أنهما سمعا النبي عليه الصلاة والسلام يقول على أعواد منبره : ” لينتهين أقوام عن ودعهم الجمعات أو ليختمن الله على قلوبهم ، ثم ليكونن من الغافلين ” ،

Sebagaimmana hadits riwayat Muslim dalam shahihnya dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, keduanya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbarnya : “Hendaknya suatu kaum benar-benar berhenti dari meninggalkan shalat jum’at atau Allah akan menutup hati mereka kemudian mereka menjadi bagian dari orang-orang yang lalai.”

وفي حديثٍ آخر ” من ترك ثلاث جمع تهاونا طبع على قلبه ” .

Pada hadits yang lain, beliau bersabda : “Barangsiapa meninggalkan tiga shalat jum’at karena malas maka hatinya tertutup.”

وهذه عقوبة قلبية ، وهي أشدُّ من العقوبة الجسدية بالسجن أو الجلد ، وعلى وليّ الأمر أن يعاقب المتخلفين عن صلاة الجمعة بلا عذر ، بما يكون رادعاً لهم عن جريمتهم ،

Ini adalah hukuman yang terkait dengan hati, lebih berbahaya dari pada hukuman terhadap jasad, seperti di penjara atau dicambuk. Oleh karena itu wajib bagi seorang pemimpin/pemerintah untuk menghukum orang-orang yang meninggalkan shalat jum’at tanpa adanya udzur untuk memberikan efek jera kepada mereka karena perbuatan maksiat mereka.

فليتق الله كل مسلم أن يضيع فريضة من فرائض الله ، فيعرض نفسه لعقاب الله ، وليحافظ على ما أو جب الله عليه ليفوز بثواب الله ، والله يؤتي فضله من يشاء.      

Hendaknya seorang muslim bertakwa kepada Allah dengan tidak menyia-nyiakan kewajiban yang Allah bebankan, dengan demikian dia menjaga dirinya dari hukuman Allah. Kemudian hendaknya dia menjaga apa yang Allah wajibkan supaya beruntung dengan mendapatkan pahala Allah dan Dia memberi keutamaan-Nya kepada orang yang Dia kehendaki.

Sumber : http://islamqa.info/ar/cat/95/ref/islamqa/7699

Bab Thaharah (Bersuci) | Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu




tata cara wudhu

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU:

1. Apa yang keluar dan salah satu dari kedua jalan yaitu dari qubul maupun dubur, sedikit atau banyak, termasuk  kencing, tinja, madzi, wadi*, atau fusa (kentut) dan dhurath (kentut dengan berbunyi), dua yang akhir ini yang disebut hadats. Itulah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah:

لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتّى يتوضأ

“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari)

* Wadi adalah air putih kental yang keluar mengiringi kencing atau karena kelelahan. Berbeda dengan mani yang jika keluar mani wajib mandi.

2. Tidur nyenyak, hingga tiada kesadaran lagi tanpa tetapnya bangku di atas lantai. Berdasarkan sabda Rasulullah

العين وكاء السه فمن نام فليتوضأ

“Mata adalah kendalinya dubur, maka barangsiapa tertidur, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah,
kedudukan hadits ini hasan)

3. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan dan jari-jari, tanpa menggunakan pembatas. Berdasadran hadits Nabi

من مسّ ذكره فليتوضأ

“Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendakiah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan lainnya. Hadits ini adalah shahih)

4. Hilang akal dan perasaan, baik karena gila, pingsan, mabuk,  minum obat, atau pengaruh bius, dalam jumlah sedikit atau banyak baik dengan bangku yang tetap di atas lantai atau tidak. Karena kekacauan pikiran atau ketidak sadaran dengan sebab-sebab tersebut lebih parah daripada tidur. Dalam keadaan yang demikian seorang muslim tidak mengerti kejadian apa yang menimpa dirinya, yang dapat membatalkan wudhunya apakah berupa kentut, berak atau lainnya. Para ulama telah bersepakat atas kewajiban berwudhu bagi yang hilang akalnya.

5. Menyentuh wanita dengan syahwat karena berhasrat untuk menyalurkan syahwatnya adalah termasuk yang membatalkan wudhu dengan alasan perintah wudhu bagi yang menyentuh kemaluan, sebab menyentuh kemaluan dapat menimbulkan gejolak syahwat. Pendapat ini dikuatkan dengan ucapan Abdullah bin Umar:

قبلة الرجل امرأته و جسّها بيده من الملامسة، فمن قبّل امرأته أو جسّها فعليه الوضوء

“Ciuman seorang laki-laki kepada isterinya atau raba-rabaannya termasuk mulamasah*. Barangsiapa yang mencium isterinya atau meraba-rabanya, maka wajib baginya wudhu.” (HR. Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’, dengan sanad shahih)

* Menunjuk pada firman Allah dalam aunt Al-Maidah ayat 6:

وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً

“dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau mulamasah (menyentuh) perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (Al-Maaidah : 6) Mulamasah yang mewajibkan wudhu, hal ini berdasarkan pada pendapat bahwa maksud “lams” adalah selain jima’.

6. Murtad atau keluar dari agama Islam. ~Semoga Allah melindungi kita dari murtad~.

Yakni mengerjakan sesuatu yang menyebabkan ia keluar dari Islam baik dengan ucapan, keyakinan atau keragu-raguan. Barangsiapa melakukannya batallah wudhunya, dan batal pula seluruh amalan ibadahnya. Manakala ia kembali ke agama Islam, ia tidak diterima sebelum berwudhu. Berdasarkan firman Allah:

وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya.” (Al-Maidah: 5)

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu.” (Az-Zumar: 65)

7. Makan daging unta, berdasarkan pertanyaan salah seorang sahabat kepada Rasulullah:

“Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing.” Rasulullah menjawab: “Jika engkau mau, berwudhulah, dan jika tidak, tidak usah.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging unta?” Rasulullah menjawab: “Ya! Berwudhulah karena memakan daging unta.” (HR. Muslim)

An-Nawawi berkata: “Madzhab/pendapat ini lebih kuat alasannya, meskipun jumhur berpendapat lain. Mengingat jumhur ulama yang terdiri dan para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in dan tokohnya adalah khalifah yang empat ridhwanullah ‘alaihim tidak berpendapat harus berwudhu karena makan daging unta. Alasan mereka adalah bahwa hadits yang disebutkan di atas telah dihapus (mansukh).”

Sumber : Panduan Praktis Rukun Islam, Darul Haq, Jakarta. Cetakan I, Rajab 1422 H. / Oktober 2001 M.

Shalat Khauf




Shalat Khauf  

Shalat khauf adalah shalat dalam keadaan bahaya atau takut (suasana perang). Shalat wajib dilakukan dalam keadaan apapun termasuk dalam keadaan bahaya (perang). Shalat dalam keadaan bahaya dilakukan diwaktu pertempuran melawan musuh dan segala pertempuran yang tidak haram seperti pertempran melawan pemberontak atau orang orang yang melawan pemerintahan yang sah atau melawan perampok, penjahat dan teroris yang semuanya dibolehkan dalam islam, sesuai dengan firman Allah:

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.  Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”. an-nissa’ 102



Cara Shalat Khauf 

Cara Pertama:

Jika musuh berada di arah kiblat, petama-tama imam mengatur pasukan menjadi dua shaf, shaf pertama dan shaf kedua. Kemudian imam melakukan shalat bersama shaf pertama dan shaf kedua. Mereka bertakbir dan ruku’ bersama. Kemudian imam dan shof pertama melakukan sujud sedang shaf kedua menjaga. Setelah imam dan shaf pertama bangun dari sujudnya, shaf kedua sujud dan iman dan shaf pertama menjaga. Demikain seterusnya mereka saling bergantian menjaga musuh. Kemudian shalat diakhiri dengan memberi salam bersama sama.

Cara Ini sesuai dengan yang dilakukan Rasulallah saw menurut riwayat dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata:

Suatu ketika aku turut melakukan salat khauf bersama Rasulullah saw. Beliau membagi kami menjadi dua barisan, satu barisan berada di belakang Rasulullah saw. sedang musuh berada di antara kami dan kiblat. Ketika Nabi saw takbir kami semua ikut takbir. Kemudian beliau ruku’, kami semua ikut ruku’. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari ruku’, kami semua melakukan hal yang sama. Kemudian beliau turun untuk sujud bersama barisan yang berada langsung di belakang beliau. Sementara itu barisan yang terakhir tetap berdiri menjaga musuh. Ketika Nabi saw. selesai sujud, dan barisan yang di belakangnya berdiri, maka barisan yang terakhir tadi turun untuk melakukan sujud lalu mereka berdiri. Lalu barisan yang di belakang maju, dan barisan yang di depan mundur. Kemudian Nabi saw. ruku dan kami semua ikut ruku. Kemudian Nabi mengangkat kepalanya, kami pun mengikutinya. Sementara barisan yang tadi berada di belakang ikut turun sujud bersama beliau, barisan yang satunya lagi tetap berdiri menjaga musuh. Ketika Nabi saw. selesai sujud bersama barisan yang tepat di belakangnya, maka barisan yang di terakhir turun untuk sujud. Setelah mereka selesai sujud, Nabi saw. mengucapkan salam dan kami semua ikut salam. Jabir berkata: Seperti yang biasa dilakukan oleh para pasukan pengawal terhadap para pemimpin mereka. (HR. Muslim)

Cara Kedua:

Jika musuh berada tidak di arah kiblat, Imam mengatur pasukan dan membagi menjadi dua barisan, satu barisan bersholat bersama imam dan satu barisan lagi menjaga musuh. Setelah barisan pertama selesai shalat maka barisan kedua melakukan shalatnya bersama imam. dan penjagaan dilakukan oleh barisan kedua yang telah selesai shalat. Jadi dalam hal ini imam bershalat dua kali, shalat pertama dengan barisan pertama dan shalat kedua dengan barisan kedua.

Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Abu Bakar ra sesungguhnya Rasulallah saw melakukan shalat khauf  dua rakaat bersama satu kelompok. Lalu beliau melakukan shalat dua rakaat lagi bersama kelompok lainnya. Jadi Rasulullah saw. melakukan salat empat rakaat, sementara para sahabat hanya dua rakaat. (HR. Abu dawud dengan isnad shahih)

Cara ketiga:

Jika musuh berada tidak di arah kiblat, Imam mengatur pasukan dan membagi menjadi dua barisan, satu barisan menjaga musuh dan satu barisan lagi sholat bersama imam satu raka’at. Jika imam berdiri untuk raka’at yang kedua, maka barisan yang pertama niat memutuskan shalat jama’ah bersama imam. Mereka melanjutkan raka’at kedua tanpa imam (shalat sendiri-sendiri) sampai selesai shalat dan salam. Lalu mereka pergi ke tempat dimana ada musuh. Kemudian barisan kedua berihram dan shalat bersama imam yang pada saat itu berada pada raka’at kedua dan ketika imam duduk untuk tasyahhud akhir, barisan perdua bangun melanjutkan raka’at kedua dan imam menunggu sampai mereka selesai melakukan raka’at kedua dan duduk bertasyahhud bersama sama imam kemudian salam.

Dari Shalih bin Khawwat ra, dari orang yang pernah melaksanakan shalat (khauf) bersama Nabi saw ketika hari (peperangan) Dzata riqa, yaitu: Sekolompok membikin shaf bersama Rasulullah saw, sedangkan kelompok yang lain bersiaga untuk menghadapi musuh. Kemudaian beliau shalat dengan kelompok yang bersamanya satu raka’at. Kemudian beliau tetap berdiri dan shaf pertama tadi menyempurnakan shalat tersebut secara sendiri-sendiri, kemudian beralih dan membuat shaf menghadapi musuh,. Lalu datang kelompok yang lain (yang belum shalat), kemudian beliau shalat dengan mereka satu raka’at yang tersisa. Beliau tetap duduk, sedangkan mereka menyempurnakan shalatnya masing-masing, kemudian beliau melaksanakan salam dengan mereka. (HR Muttafaqun ‘alaih).

Cara keempat:

Jika dalam keadaan gawat

Jika dalam keadaan gawat dan imam tidak bisa mengatur, maka masing masing bisa melakukan shalat sebisa-bisanya, dalam keadaan berjalan kaki, berlari atau menendarai kuda (tank), dengan menghadap atau tidak menghadap kiblat. Yang penting shalat harus dilakukan dan caranya bebas tanpa ikatan.

Allah berfirman: ”Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (salatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” Al-Baqarah 239

Shalat Musafir




Shalat Musafir

Rukhshah (izin): ialah hukum yang merobah dari kesulitan menjadi kemudahan.

Musafir: ialah seorang Muslim yang keluar dari negerinya ke negeri lain dengan maksud mengerjakan sesuatu yang dibolehkan dalam agama seperti bermusafir kerana menuntut ilmu, melaksanakan sesuatu urusan keagamaan seperti menunaikan Ibadat Haji, menziarahi keluarga, kenalan atau mencari rezeki yang halal untuk memenuhi keperluan keluarganya dan negeri yang dituju harus lebih dari jarak yang telah ditentukan oleh agama. Maka pada saat itu dibolehkan baginya meng-gashar (mengurangi) shalatnya.

Allah berfirman ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.  Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” an-Nisa’ 101.

Dari Y’ala bin Umayyah ra bahwasanya ia bertanya kepada Umar bin Khathab ra  tentang ayat ini seraya berkata: “Jika kamu takut diserang orang-orang kafir, padahal manusia telah aman”. Umar ra menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah saw tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim).



Rukhshah (izin) Orang Musafir

Diizinkan bagi orang musafir untuk mengurangi (qashar) shalat-shalat wajib dari empat raka’at mejadi dua raka’at yaitu shalat Dhuhur, shalat Ashar dan shalat Isya’
Diizinkan taqdim (mendahulukan) shalat yaitu taqdim shalat Ashar diwaktu Dhuhur dan taqdim shalat Isya’ diwaktu Maghrib
Diizinkan takhir (menunda) shalat yaitu menunda (takhir) sholat Dhuhur diwaktu Ashar dan menunda (takhir) sholat Maghrib diwaktu Isya’
Diizinkan baginya tidak melakukan shalat Jum’at atau tidak wajib baginya sholat Jum’at jika ia keluar dari negerinya sebelum sholat fajar di hari Jum’at dan harus menggantikannya dengan shalat Dhuhur dua raka’at (diqasarkan).
Diizinkan baginya untuk berbuka puasa dibulan Ramadhan yaitu bagi musafir diizinkan baginya untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib baginya meng-qadha (membayar) puasanya pada bulan-bulan yang lain tanpa membayar fidyah.


Kapan Mulai dan Selesai Shalat Musafir

Permualaan shalat musafir dimulai dari jika ia keluar sebagai musafir dan sudah melewati perbatasan negerinya.
Selesainya shalat musafir dimulai dari jika ia kembali dari perjalananya dan sudah memasuki perbatasan negerinya
Semua ini dilakukan dengan niat beriqamah (menetap) selama 4 hari 4 malam bagi yang mempunyai keperluan biasa tidak termasuk hari masuk dan hari keluarnya musafir. Bagi yang menunggu suatu penyelesaian, jika musafir tinggal di sebuah daerah untuk menunggu selesainya urusan yang diperkirakan (selesai) sebelum empat hari (namun ternyata perkiraan itu meleset dan ternyata lebih dari empat hari) maka pendapat yang shahih menurut madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i adalah boleh mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari.

Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Omran bin al-Hushain ra ia berkata ”Kami berperang bersama Rasulallah saw dan menyaksikan fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan kami duduk di Makkah 18 hari, kami tidak shalat keculai dua raka’at (diqashar). Rasulallah saw bersabda ”Wahai penduduk Makkah beshalatlah kalian 4 raka’at sesungguhnya kami orang orang yang bermusafir”. (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Keterangan (Ta’liq):

Dibolehkan bagi seorang musafir:

- meng-qashar (mengurangi) shalatnya atau menggabungnya (menjama’nya) dengan menunda (mentakhir) atau mendahulukannya (men-taqdim)

- Tidak melakukan shalat Jum’at (tidak wajib baginya) dan menggantikannya dengan shalat dhuhur 2 raka’at

- Tidak melakukan puasa bulan Ramadhan (tidak wajib baginya)



Syarat mengurangi (meng-qashar) shalat

1- Negeri yang dituju harus ditentukan. Hal ini agar bisa diketahui apakah boleh mengqashar shalatnya atau tidak.

2- Maksud perjalanannya harus mubah bukan untuk bermaksiat, karena rukhshah (izin) untuk mengqashar shalat dibolehkan bagi musafir yang bukan bertujuan untuk maksiat.

Allah berfirman ”Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” al-Maidah,3

3- Negeri yang dituju harus lebih dari jarak yang telah ditentukan oleh agama. Ada perselisihan jarak menurut jumhur ulama. Menurut imam Syafie Jarak negeri yang dituju harus 4 barid (80.64 Km), yakni harus lebih dari 80.64 km.

Sesuai dengan riwayat bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra bershalat dua raka’at dan tidak berpuasa dalam bepergian lebih dari 4 barid” (HR Baihaqi dengan isnad shahih).

Begitu pula menurut riwayat Atha’, dia bertanya kepada Ibnu Abbas ”Apakah aku menqashar shalatku jika aku bepergian ke Arafah?” ia menjawab ”Tidak”. Kemudian Atha’ bertanya ”Kalau ke Mina?”, ia menjawab ”Tidak. Tapi ke jeddah, ke Asfan dan ke Taif (boleh mengqashar)” (HR As-Syafie dan al-Baihaqi dengan isnad yang shahih). Dari hadist ini kita bisa mengambil istimbath bahwa jarak antara Makkah ke Thaif atau ke jeddah atau ke Asfan adalah 4 barid (lebih dari 80.64 km) .

4- Shalat yang diqashar (dikurangi) harus shalat shalat yang bilangan raka’atnya empat raka’at yaitu shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’, sesuai dengan ijma ulama

5- Harus melakukan niat mengurangi (mengqashar) shalatnya sewaktu takbiratul ihram, karena asal shalat yang diqashar adalah empat raka’at, maka jika ingin diqashar menjadi dua raka’at harus diniati sebelum takbiratul ihram.

6- Tidak boleh bermakmum dibelakang orang yang shalatnya sempurna

Sesuai dengan riwayat tetkala Ibnu Abbas ra ditanya kenapa musafir bershalat dua raka’at jika sendiri dan empat raka’at jika berma’mum kepada yang bermukim? Ia menjawab ”itu adalah sunnah” (HR Muslim). Yang dimaksud dengan sunnah adalah sunah Nabi saw.

Keterangan (Ta’liq):

Niat qashar (mengurangi) shalat ialah

نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرْضَ الظُهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا للهِ تَعَالَى اللهُ أَكْبَرْ

”Aku niat shalat Dhuhur dua raka’t dengan mengqasharnya karena Allah Ta’ala Allahu Akbar”



Menjam’a (Menggabung) Shalat

Bagi musafir boleh mejama’ (menggabung) antara dua shalat yaitu menggabungkan antara shalat dhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya’ dan dikerjakan dalam waktu salah satunya yaitu boleh dikerjakan dalam waktu dhuhur atau dalam waktu ashar begitu pula dalam waktu maghrib atau dalam waktu isya.

Jadi seorang musafir boleh men-jama’ (menggabung) shalatnya baik jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.

Sesuai dengan hadist dari Ibnu Abbas ra ia berkata ”sesungguhnya Rasulallah saw menjama’ (menggabung) antara maghrib dan isya’ jika dalam perjalanan (HR Muttafaqun ’alih).

Begitu pula hadist dari Anas bin Malik ra.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari condong ke barat, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti dan menjama’ (menggabung) keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan”. (HR Bukhari Muslim).



Syarat Mendahulukan (Men-taqdim) Shalat

Shalat yang pertama harus didahulukan baru setelah itu shalat yang kedua (shalat Dhuhur lebih dahulu kemudian men-taqdim shalat Ashar, begitu pula shalat Maghrib lebih dahulu kemudian men-taqdim shalat isya’)
Harus niat menggabung (jama’) antara shalat pertama dan kedua dan niat dilakukan waktu melakukan shalat pertama. (Lihat niat dibawah)
 Kedua shalat harus dilakukan secara berturut-turut (tertib) yaitu tidak boleh ditunda terlalu lama atau jangan diselangi dengan waktu yang panjang. Karena kedua shalat dianggap satu shalat. Rasulallah saw sewaktu menjama’ kedua shalat beliau lakukan secara berturut-turut dan tidak melakukan shalat sunnah antara kedua shalat
Harus masih dalam keadaan musafir sewaktu melakukan shalat kedua.
Keterangan:

Niat mendahulukan (men-takdim) shalat, yaitu mentakdim shalat Ashar dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Dzuhur di waktu Dhuhur atau mentakdim shalat Isya’ dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Maghrib di waktu Maghrib.

نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرْضَ الظُهْرِ  رَكْعًتَيْنِ جَمْعًا بِالعَصْرِ تَقْدِيْمًا وَقَصْرًا للهِ تَعَالَى

“Saya berniat sholat dhuhur dua raka’at jama’ taqdim dengan ashar dan diqashar karena Allah “



Syarat Menunda (Men-takhir) Shalat

Niat menunda (men-takhir) shalat pertama ke dalam shalat kedua, misalnya niat menunda shalat Dhuhur ke waktu shalat Ashar (masuknya waktu sholat dhuhur dalam keadaan tidak shalat), begitu pula niat menunda shalat Maghrib ke waktu shalat Isya’ (masuknya waktu shalat Maghrib dalam keadaan tidak shalat)
Harus masih dalam keadaan musafir saat selesai sholat kedua
Keterangan:

Niat menunda (men-takhir) shalat, yaitu menunda (mentakhir) shalat Dzuhur dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Ashar di waktu Ashar atau menunda (mentakhir) shalat Maghrib dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Isya’ di waktu Isya’ 

نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرْضَ الظُهْرِ  رَكْعًتَيْنِ جَمْعًا بِالعَصْرِ تَأخِيْرًا وَقَصْرًا للهِ تَعَالَى

“Saya berniat sholat dhuhur dua raka’at jama’ takhir dengan ashar dan diqashar karena Allah”

Shalat Orang Sakit



Shalat Orang Sakit

Shalat lima waktu merupakan Fardhu ‘Ain yaitu wajib yang harus dilakukan atas diri setiap muslim berakal sehat dan baligh baik ia laki-laki atau perempuan. Karena ia mengandung wajib yang berat, maka harus dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan walaupun dalam keadaan sakit. Kewajiban shalat tidak bisa gugur dalam keadaan bagaimana pun atas diri seorang Muslim yang sakit ringan atau berat semasih ia sadar dan belum mati.

Caranya shalat bagi orang sakit dapat dilakukan sebagaimana kemampuannya, sesuai dengan sabda Nabi saw kepada ’Umran bin al-Hushain ra ”Shalatlah kamu dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah dalam keadaan duduk, jika tidak mampu maka shalatlah kamu sambil berbaring” (HR Bukhari).

Dalam hal ini ada beberapa cara jika seseorang tidak bisa shalat dalam keadaan berdiri tegak::

solat sambil duduk (sambil menundukan kepala disaat ruku dan sujud), jika tidak bisa maka lakukan cara kedua
sholat sambil berbaring diatas rusuk kanan menghadap kiblat, jika tidak mampu maka lakukan cara ketiga
sholat sambil berbaring diatas rusuk kiri menghadap kiblat, jika tidak mampu lakukan cara keempat
shalat sambil tidur terlentang dan kakinya membujur ke kiblat dengan meletakan bantal dibawah kepalanya sehingga kepalanya juga menghadap ke kiblat, jika tidak mampu maka lakukan cara kelima
shalat dengan isyarat (dengan gerakan mata), jika tidak mampu maka lakukan cara keenam
kalau sudah tidak bisa semuanya maka shalat dengan hati
Firman Allah ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Al-Baqarah 286,

begitu pula sabda Rasulallah saw “Jika aku perintahkan kalian atas satu perkara maka lakukanlah sedapat mungkin” (HR Bukhari Muslim)

Sholat Sunnah




Sholat Sunnah

Shalat sunnah ialah sholat yang tidak wajib dilakukan oleh setiap muslim tapi sunnah (berpahala) jika dilakukannya. Sesuatu yang sunnah akan lebih baik jika dilaksanakan karena bisa menambal sulam kekurangan ibadah kita.

Shalat sunah terbagi atas 2 bagian

A- Shalat sunah rawatib

Sholat sunnah rawatib: ialah sholat sunnah yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat fardhu (shalatlimawaktu).

B- Shalat sunah bukan rawatib

Sholat sunnah bukan rawatib: ialah sholat sunah yang mempunyai waktu-waktu tersendiri, sebab-sebab tersendiri dan tidak ada hubungannya dengan sholat fardhu (shalatlimawaktu).

A- Shalat sunah rawatib

Ia dibagi 2 bagian:

1. Shalat sunah rawatib mu’akkadah

Muakkadah: yaitu sholat sunah yang selalu dilakukan oleh Nabi saw. Sholat ini jumlahnya ada 10 raka’at

Dua raka’at sebelum shalat Dhuhur
Dua raka’at setelah shalat Dhuhur
Dua raka’at setelah shalat Maghrib
Dua raka’at setelah shalat Isya’
Dua raka’at sebelum shalat shubuh
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulallah saw dua raka’at sebelum shalat dzuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat maghrib di rumah beliau, dua raka’at sesudah shalat isya’ di rumah beliau.” Kemudian ia berkata: “saudaraku Hafsha pernah meriwayatkan bahwa Rasulallah saw shalat dua raka’at ringan ketika terbit fajar (sebelum shalat subuh).” (HR Bukhari Muslim)

2. Shalat sunah rawatib bukan mu’akkadah

Bukan Mu’akkadah: yaitu shalat sunnah yang kadang kadang ditinggalkan atau tidak dilakukan oleh Nabi saw. Shalat ini jumlahnya ada 12 raka’at,  yaitu:

Dua raka’at sebelum sholat dzuhur
Dua raka’at sesudah shalat dzuhur
Empat raka’at sebelum sholat Ashar
Dua raka’at sebelum sholat Maghrib
Dua raka’at sebelum sholat Isya’
Dari Umu Habibah ra, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah mengharamkannya dari api Neraka.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi, hadits hasan shahih)

Dari Ali r.a. ia berkata, “Nabi saw biasa shalat empat raka’at sebelum ashar, beliau membaginya menjadi dua dengan ucapan salam kepada para malaikat yang selalu dekat dengan Allah dan kepada orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan kaum muslimin dan mukminin.” (HR Hasan Tirmidzi).

Dari Abdullah bin Mughaffal ra, Rasulallah saw bersabda: “Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau bersabda: Bagi siapa saja yang mau melaksankannya. Beliau takut hal tersebut dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah. (HR Bukhori)

Dari Abdullah bin Mughaffal ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian ketiga kalinya beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR Bukhari Muslim)

B- Shalat Sunnah Bukan Rawatib

Shalat ini terbagi atas 2 bagian:

1-     Sholat sunnah bukan rawatib yang tidak dilakukan berjama’ah

Shalat Witir (Shalat Ganjil)
Shalat Dhuha
Shalat Tahiyatul Masjid
Shalat Setelah Wudhu’
Shalat Istikharah
Shalat tahajjud
Shalat tasbih
Shalat Awwabin
Shalat hajat
Shalat sunnah ihram
Shalat setelah tawaf
2- Shalat Sunah Bukan Rawatib Yang Dilakukan Secara Berjama’ah

Sholat Tarawih
Sholat Hari Raya (Iedul Fitri & Iedul Adha)
Sholat Gerhana
Shalat Istisqa’ (Minta Hujan)

Contoh Iklan

 
Alamat Reumoh : Jln. Tol. Nyak Nurdin No.3, Geulanggang Samping, Kec. Kota Harimau Kab. Ek Tren HP:0853 6053 xxxx, Email : pura-puramantong@gmail.com