Jumlah yang hadir dalam shalat jum’at sejak dahulu hingga sekarang merupakan masalah yang sangat diperhatikan orang, walupun di dalam Al-Qur’an tidak diterangkan bahwa sahnya shalat jum’at itu sekian orang yang hadir, namun andaikata jumlah 40 orang yang hadir dalm Jum’at dijadikan syarat sahnya Jum’at bagi masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mengalami kesulitan, karena hal ini pada umumnya telah terpenuhi. Sebenarnya pada dasarnya tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama bahwa berjamaah merupakan syarat sahnya shalat jum’at, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal jumlah shalat jum’at yang dapat dikatakan sah.
Syaukani mengatakan , “ menurut ijma, semua shalat terhitung jamaah jika dilakukan dua orang, dan shalat jum’at merupakan shalat jamaah juga merupakan shalat jadi sama saja, kecuali ada dalil yang membedakannya . Menurut Abdul Haq dan Suyuti tidak ada hadis yang menerangkan jumlah jamaah untuk melakukan shalat jum’at begitu juga dlam Al-Qur’an tidak ada dalil-dalil tentang jumlah jamaah shalat jum’at. Dibawah ini ada beberapa pandangan ulama berkenaan dengan jumlah jamaah shalat jum’at :
1. Pandangan Kalangan Hanafiyah
Pandangan kalangan ini berpendapat bahwa shalat jum’at sah jika dilakukan minimal ada tiga orang diluar imam, karena tiga adalah jama’ah dan tidak disyaratkan dalam Jum’at kecuali jamaah . Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat jum’at itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting jumlahnya tiga orang selain imam/ khatib.
Kalangan ini berpendapat bahwa tidak ada nash Al-Qur’an yang menjelaskan jumlah pasti bilangan jamaah shalat jum’at kecali jamaah. Mereka berpandangan bahwa yang dimaksud jamaah adalah dilakukan oleh dua orang atau lebih.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.’’ (QS. Al-Jumu’ah: 9).
2. Pandangan Kalangan Malikiyah
Kalangan ini berpendapat bahwa sebuah shalat jum’at baru sah jika dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah. Hal ini didasarkan pada peristiwa yang disebutkan dalam surat Al-Jumu’ah yaitu peristiwa bubarnya sebagian jamaah shalat jum’at karena datangnya kafilah yang baru pulang berniaga. Sehingga mereka secara langsung meninggalkan Rasululloh SAW yang sedang berkhutbah sehingga pada akhirnya tinggal 12 orang saja. Tersisanya 12 orang yang masih tetap berada dalam shaf shalat jum’at dan menurut mereka, Rasullulah SAW saat itu tetap meneruskan shalat jum’at dan tidak menggantinya dengan shalat zhuhur.
إِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“ Dan apabila mereka melihat peniagaan atau permainan, mereka nubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri. Katakanlah : Apa yang disisi Alloh lebih baik daripada permainan perniagaan, dan Alloh sebaik-baik pemberi rezki.”
( QS. Al-Jumu’ah : 11)
3. Pandangan Kalangan Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Pandangan ulama ini menyaratkan bahwa sebuah shalat jum’at itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya. Hal ini sebgaimana dijelaskan dalam hadist dari Jabir Radhiyallahu Anhu., ia berkata, “ Sunnah Rasul menetapkan bahwa setiap 40 orang atau lebih, dilaksanakan Jum’at.” (HR. Ad-daruquthni) . Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا جُمُعَةً رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيف : وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ
Ini adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jum’at di masa Rasulullah SAW. Menurut kalangan Asy-Syafi`iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang. Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya Rasulullah SAW dahulu pernah shalat jum’at hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah SAW dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat jum’at.
Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi`iyah meyakini bahwa satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah SAW ketika shalat jum’at adalah yang menyebutkan bahwa jumlah mereka 40 orang. Bahkan mereka menambahkan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa keberadaan ke-40 orang peserta shalat jum’at ini harus sejak awal hingga akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jum’at yang keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah jum’at itu. Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun shalat jum’at dalam pandangan mereka. Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan karena tidak tercukupinya syarat sah shalat jum’at.
Selain itu ada syarat lainnya seperti :
a. Muqim
Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat jum’at, sehingga keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan minimal peserta shalat jum’at.
b. Lelaki
Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi jumlah minimal.
c. Merdeka
Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jum’at.
d. Mukallaf
Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh, sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jum’at tidak berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.
Dari beberapa pendapat diatas pada umumnya di Indonesia dalam menentukan jumlah jamaah shalat jum’at dengan batasan 40 orang. Akan tetapi jika ada suatu tempat dimana disitu sedikit kaum muslim boleh dikatakan tidak ada 40 orang maka mereka boleh bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah dengan ketentuan rukun dan syarat menurut Abu Hanifah. Dengan adanya hal ini tentunya dapat dijadikan sebuah dasar pemahaman dalam menentukan banyaknya jumlah jamaah shalat jum’at tentunya dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi suatu tempat tersebut dalam menyelenggarakan shalat jum’at.
Daftar Pustaka
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Syaikh. Panduan Lengkap Shalat menurut Empat Madzhab. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
Ahkamul Fuqaha. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, keputusan Muktamar, Munas dan Kombes Nahdatul Ulama (1926-1999) . Surabaya : Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU & Diantama Penerbit
Rifai, Moh . Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang : C.V Toha Putra.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunah Sayyid Sabiq Jilid I . Jakarta : Al-I’ttishom cahaya Umat.
http://eramuslim.com/ustadz/shl/45f35398.htm diakses pada tanggal 29 Desember 2011
www.kampussyariah.com diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Share this: